This post is also available in: English
Tulisan ini merupakan seri ke-6 dari Perempuan dalam Perikanan
Angin Pantai Mourongga meniup rambut Metty Wasa, nama kecil dari Maria Petrosia Klara Lero. Kami duduk di atas batuan berwarna toska muda yang terhampar cantik di sepanjang pantai. Pemandangan di sini begitu memikat, tapi ternyata cerita perjalanan Metty bekerja dari gunung ke laut, lebih memikat lagi.
Metty adalah Office Manager Yayasan Tananua Flores, organisasi yang mendampingi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan mereka, sekaligus mendorong pelestarian keanekaragaman hayati di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Sejak didirikan pada tahun 1989, Tananua telah mendukung komunitas petani di Ende, mulai dari mengajari mereka cara bercocok tanam hingga menjalankan koperasi. Metty telah menghabiskan 25 tahun bekerja dengan Tananua, mengembangkan tiga program utama mereka, yaitu pertanian berkelanjutan, kesehatan dasar, dan ekonomi rakyat.
Hingga Mei 2019, Tananua berfokus pada meningkatkan taraf hidup petani; mereka bekerja di daerah pegunungan. Tapi tahun lalu, bekerja sama dengan Blue Ventures, Tananua memberanikan diri turun dari dataran tinggi menuju laut. Mereka mulai mendampingi nelayan gurita dari Desa Mourongga dan Desa Tentadara di Ende Selatan – untuk mulai mendata hasil tangkapan gurita mereka.
Desa baru pemekaran Mourongga ini berjarak setengah jam berkendara dengan mobil dari Kota Ende, Nusa Tenggara Timur. Tananua mendampingi nelayan gurita di desa ini untuk mendata hasil tangkapan mereka. Sebab, kurangnya data adalah salah satu masalah bagi perikanan gurita skala kecil. Melalui data, masyarakat bisa mengetahui potensi perikanan mereka dan mulai berdiskusi tentang cara-cara mengelola sumber daya alam laut mereka secara berkelanjutan.
Berkenalan dengan Metty Wasa
Seperti piknik, kami mengobrol sambil diselangi suara ombak yang tak terlalu berisik. Tempat ini begitu membuai, saya jadi mengerti mengapa mudah bagi Metty untuk jatuh hati pada laut.
Ibu, aku boleh amati, dari rumahku dulu tak bisa melihat laut, laut masih di bawah. Tapi kini laut begitu terlihat. Jadi benar bahwa permukaan air laut secara fisik itu memang naik. Laut berubah, ikan semakin sedikit, namun nelayan-nelayan kita masih banyak tidak tahu bahwa suatu saat ikan itu bisa habis. Mereka pikirnya, ikan-ikan itu akan selalu ada untuk kehidupan mereka,” cerita Metty.
Metty lahir di kaki gunung, besar di keluarga petani yang mendiami Desa Nduaria, salah satu desa penyangga Taman Nasional Gunung Kelimutu yang tersohor dengan pesona tiga warnanya. Ia menetap di Ende sejak duduk di bangku SMP. Selepas SMA, Metty bergabung dengan Tananua dan menemukan panggilan hidupnya selama 25 tahun menerjuni bidang pemberdayaan masyarakat.
“Saya tidak memiliki pendidikan tinggi, tetapi yang selalu saya miliki adalah motivasi tinggi untuk belajar,” katanya. “Setelah ayah meninggal saat saya SMA, ibu sendirian membesarkan dan menyekolahkan kami semua. Jadi, saya mengambil kursus mengetik dan melamar pekerjaan asisten lapangan di Tananua,” lanjut Metty.
Saat memulai peran barunya di Tananua, Metty belajar semuanya dari awal. “Selama tiga bulan pertama saya, saya habiskan waktu untuk belajar tentang pertanian dan pekerjaan pengembangan masyarakat,” katanya.
Metty melalui kerja keras dan proses belajar panjang selama 12 tahun menjadi pendamping lapangan, supervisor program kesehatan, hingga menjabat office manager sekaligus sekretaris yayasan. Kini, sehari-harinya, Metty bertanggung jawab menangani administrasi lembaga, menjalin relasi mitra, juga membangun kapasitas dan pengembangan diri staf Tananua.
“Saya tidak punya gelar di bidang pertanian, atau ekonomi, tapi gelar di Tananua,” dia tertawa. Ia menjadi saksi berkembangnya Tananua dari hanya 10 orang, hingga kini memiliki 24 orang. Lebih dari dua dekade terakhir, ia telah membersamai Tananua dalam mendampingi 90 desa yang tersebar di 11 kecamatan di Kabupaten Ende.
Mendampingi masyarakat pegunungan dan pesisir
Saya tertarik untuk mendengar lebih jauh mengenai bagaimana Tananua “turun gunung”- memperluas pendampingannya ke masyarakat pesisir. Metty melanjutkan ceritanya tentang pekerjaannya baru-baru ini dengan komunitas nelayan lokal di Ende Selatan.
Metty bercerita bahwa setelah para nelayan setuju bahwa mereka ingin mempelajari lebih lanjut tentang sumber daya gurita mereka, Tananua mulai mengajari mereka cara mengumpulkan dan mencatat data hasil tangkapan. Pendekatan partisipatif untuk pemantauan perikanan ini dapat memberi para nelayan peluang untuk memahami dan berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan.
Untuk melengkapi proses tersebut, Metty dan timnya memimpin sesi umpan balik data tentang pengumpulan data perikanan gurita di kedua desa. Dia telah melihat perubahan kecil tapi penting di antara para nelayan.
Perubahan kecil mulai Metty amati sejak terlibat dalam pertemuan bersama masyarakat di kedua desa tersebut. Metty melihat, masyarakat jadi tahu pentingnya terumbu karang sebagai rumah ikan, dan bahwa sumber daya di laut suatu hari bisa habis, kalau tidak mereka jaga.
Masyarakat bisa menyebarkan pengetahuan baru ini ke keluarga dan tetangganya,” kata Metty.
Meski dengan konteks yang berbeda antara petani dan nelayan, Metty dan tim Tananua menanamkan prinsip yang sama pada keduanya. “Kita ajak masyarakat untuk mulai berpikir jauh ke depan, bahwa menjaga potensi wilayah dan sumber daya itu berarti menjaga pendapatan mereka,” lanjut ia.
Menghubungkan gunung dan laut
Laut dan gunung itu terhubung, dua itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.”
Filosofi yang diungkapkan Metty sama dengan konsep “nyegara gunung” dalam adat istiadat Bali. Segara (laut) dan gunung adalah satu kesatuan, sehingga tindakan di gunung akan berdampak pada laut, dan sebaliknya.
“Penting itu bagaimana kita menjaga sinergi antara laut dan gunung, hulu ke hilir,” kata Metty. “Jangan sampai orang gunung berpikir, laut adalah tempat pembuangan akhir. Padahal, kalau ekosistem laut nantinya rusak, akibatnya akan sampai ke gunung juga,” imbuh ia.
Salah satu cara Tananua menyambungkan gunung dan laut adalah melalui pertemuan semesterial petani dan nelayan. Setiap enam bulan, Tananua mencoba mempertemukan petani dan nelayan dalam satu forum, membangun harmoni antar keduanya.
Pak Imran, nelayan gurita dari Mourongga, berbagi pengalamannya mengikuti pertemuan semesterial. “Saya bercerita pada teman-teman petani tentang kehidupan sebagai nelayan gurita, juga apa yang saya lihat: bahwa di dasar laut dan terumbu karang banyak sampah plastik yang tinggal di sana.” kata ia sambil menjamu kami. Poster ‘Siklus Hidup Gurita’ ditempel besar-besar di dinding bata depan rumahnya. Ia menyuguhkan kami kelapa muda yang baru dipetik dari pohonnya.
Petani jadi tahu, bahwa buang sampah di kali adalah hal yang salah. Karena akan mengalir dan berakhir di lautan,” kisahnya.
Di akhir pertemuan, peserta akan saling tukar benih pangan yang mereka miliki untuk ditanam di kebun masing-masing. Pak Imran menunjukkan pada kami kebun jagung di samping rumahnya. Benih yang ia dapat saat pertemuan semesterial, kini tanamannya sudah tinggi-tinggi.
“Dengan mempertemukan petani dengan nelayan, mereka jadi saling paham profesi satu sama lain. Bahwa mereka ini saling membutuhkan, dan sama-sama berjuang di bidang masing-masing. Dari sini, kita bangun kesadaran bersama bahwa ekosistem laut dan darat sama pentingnya.” jelas Metty.
Metty pun bermimpi, suatu hari memiliki program yang menyandingkan gunung dan laut – membangun keberlanjutan di kedua tumpuan kehidupan manusia tersebut.
“Siapa menanam, dia akan mengecap hasilnya.”
Masih ditemani ombak dengan lembut menghempas pantai, Metty berbagi tentang prinsip yang selama bertahun-tahun ia pegang erat.
Siapa menanam, dia akan mengecap hasilnya. Kalau tidak menanam, tidak akan mendapat apa-apa,” itulah yang diyakini Metty.
Ia kini menuai hasil dari proses belajar dan kerja keras panjang. Tapi Metty lebih dari sekedar perannya di Tananua dan di tengah masyarakat. Ia juga adalah seorang istri, dan ibu dari tiga putra dan putri.
Perempuan ini telah mandiri sejak kecil, menjadi sulung dari 7 bersaudara ia memegang teguh kedisiplinan dalam kehidupan. “Saya dibesarkan oleh perempuan kuat. Perempuan harus kuat, tak bisa perempuan itu lemah,” katanya.
Metty berbagi mengenai pandangannya. “Sekarang ini, beban kerja dan ekspektasi pada perempuan begitu tinggi. Kebutuhan hidup semakin tinggi karena tuntutan zaman, sehingga di rumah ia bekerja, di luar ia bekerja,” Metty membagi pandangannya tentang kehidupan banyak perempuan yang ia temui.
“Tantangan bagi perempuan, di saat mereka juga bekerja untuk tingkatkan ekonomi keluarga, terkadang sebagian lelaki belum banyak mau berbagi peran untuk pekerjaan domestik. Masih ada warisan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai nomer 2,” ungkapnya.
Ia selama ini membina dan mendorong keterlibatan perempuan dalam kepengurusan koperasi-koperasi di desa. “Perempuan perlu saling memotivasi, untuk lebih bersuara, dan berkarya,” katanya.
Perempuan harus saling menguatkan, saling dukung untuk berkembang,” kata ia.
Saya bisa merasakan keteguhan, optimisme, dan kharisma Metty dari ceritanya. Sosok keibuan ini tak henti meyakinkan orang lain untuk membuat perubahan dalam hidupnya. Ia punya harapan besar pada sesama perempuan agar terus mengembangkan potensi diri mereka. Baik untuk para perempuan di organisasinya, maupun masyarakat dampingannya.
Read more from our Women in Fisheries series:
Locally led conservation: listening, persevering and working together
Building confidence through communication: an interview with Mursiati of FORKANI